Belakangan ini, saya lagi senang mengamati kasus-kasus yang sedang hangat saat-saat ini. Salah satu yang sangat menarik perhatian saya adalah fenomena tiktok yang begitu kontroversial. Setelah mencari tahu, bagaimana aplikasi musik ini bisa menimbulkan kontroversi, akhirnya saya tertarik untuk mengikuti beritanya, hingga saya menemukan issue baru yaitu tentang seleb tiktok dadakan yang bernama bowo (ig: bowo_alpenliebe). Anak berusia 13 tahun ini sedang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini gegara dia (dan menurut sumber lain ada pihak lain) yang melaksanakan meet and greet dan memasang tarif 80k untuk berfoto dengan bowo. Sekilas, berita ini tampak menggelikan, mengingat hal tersebut betul-betul terjadi di kalangan anak-anak baru gede.
Berita mengejutkan datang ketika saya membaca salah satu postingan orang lain mengenai tingkah laku fans bowo ini. Miris sekali, dan sedikit kurang percaya dengan kelakuan fansnya yang sampai murtad gegara menuhankan idolanya. Bahkan, ada sebuah postingan yang tidak wajar yang berisi rela menjual ginjal, rela kehilangan keperawanannya dan bahka rela menjual ibunya demi bertemu dengan bowo ini. Saya tidak melihat postingan aslinya, issue ini saya temukan di salah satu artikel di internet yang memuat beberapa bukti screenshoot-nya. Jengah dengan berita ini akhirnya saya ingat di facebook ada yang pernah membagikan link berupa permintaan bantuan untuk menandatangani petisi dalam rangka pemblokiran aplikasi tiktok. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk ikit menandatangani petisi tersebut dan membagikannya ke grup-grup di WA saya.
Pemblokiran tiktok, dengan kisah bowo ini tentulah dua isu yang berbeda. Namun jujur, pada awalnya saya jengah karena bocah ini yang membuat saya ingin aplikasi tiktok ini segera diblokir. Setelah isu pemblokiran tiktok ini, muncullah isu baru mengenai bowo dari sebuah instastory yang menjelaskan kondisi bowo. Awalnya, saya tidak terlalu tertarik dengan anak ini, sampai akhirnya saya mengunjungi instagramnya dan melihat komentar di postingan terakhirnya. Komentarnya kalau saya tidak salah lihat itu mencapai ratusan ribu. Saya membaca komentar itu sebagian dan boom! Saya menemukan begitu banyak haters bowo yang sampai menghina habis-habisan. Kembali ke instastory cerita bowo, saya membaca dari postingan tersebut mengenai kondisi psikis bowo yang sedang terganggu lantaran komentar-komentar negatif tentang dirinya, di instastory tersebut dijelaskan bahwa bowo anak yang baik, rajin sholat, ia sama sekali tidak paham dengan apa yang sedang menimpa dirinya karena dia hanya melakukan hal yang menurutnya menyenangkan dan itu sangat wajar mengingat usianya yang memang sedang dalam proses transisi ke masa remaja. Kemudian, saya juga menemukan postingan facebook yang menceritakan tentang kisah bowo yang diundang ke salah satu acara talkshow di televisi yang menghadirkan bowo dan Ibundanya. Sesak sekali, saat membaca bahwa Ibunda bowo sampai rela berhenti bekerja demi melindungi anaknya yang sedang diserang haters mengingat tidak ada anggota keluarganya yang bisa menjaga bowo karena alasan pekerjaan. Apalagi, ketika Ibundanya menangis meratapi nasib anaknya. Kawan... Ibu mana sih yang rela anaknya dicaci maki secara tidak wajar?
Once again, pemblokiran aplikasi tiktok dengan kisah bowo adalah dua isu yang berbeda. Ada saja sebagian orang yang menghubungkannya, sampai mungkin berpikiran bahwa ini adalah langkah untuk menyerang bowo. Tidak sama sekali. Banyak juga yang berpendapat bahwa sebetulnya aplikasi ini tidak perlu diblokir karena yang salah itu penggunanya. Guys, kalau konsumennya adalah anak-anak yang kita tahu sulit sekali bagi anak zaman sekarang mendengarkan nasihat orangtua, bahkan banyak orangtua di luar sana yang kurang peduli dengan dampaknya, maka sulit bagi kita mengontrol si pengguna. Maka, pemblokiran ini adalah langkah yang tepat agar anak-anak tidak difasilitasi dengan aplikasi yang berpotensi untuk merusak moral mereka.
On the other hand, mengenai kasus bowo, ini sungguh hal yang sangat memprihatinkan berhubunga dengan "mulut liar" netizen. Kita tahu bahwa netizen Indonesia itu sungguh sangat sensitif terhadap hal-hal yang kontroversial. Sekalinya ada hal yang booming, berbondong-bondong mereka membanjiri kolom komentar, mengutarakan kebencian mereka. Kawan, itulah yang disebut hate speech. Ketika ujaran-ujaran kebencian itu membanjiri kolom komentar seseorang, maka tentu orang tersebut akan merasa down. Ya katakanlah artis, yang memang mungkin hal tersebut sudah biasa bagi mereka, maka mereka tidak begitu memperdulikan karena hal itu merupakan salah satu konsekuensi mereka sebagai publik figur. Tapi hey, seorang bowo, anak remaja yang sedang mencari jati dirinya, bagaimana perasaan dia saat membaca komentar-komentar tersebut? Ini sudah termasuk ke dalam kasus bullying. Lebih jauh lagi, bagaimana perasaan Ibu dan keluarganya? Can you imagine, kalau hal itu terjadi pada anak atau sanak saudaramu? Bullying itu sudah jelas-jelas sangat membahayaka kondisi kejiwaan seseorang.
Mulailah bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan menjadi seseorang yang judgemental. Biasakan tabayyun; mencari pembuktian sebelum menghakimi seseorang. Hey, banyak sekali urusan negara yang perlu kita pikirkan dibanding mengomentari hidup orang yang sungguh tidak ada kaitannya dengan hidup kita.
Rabu, 04 Juli 2018
Sabtu, 02 Juni 2018
Sudut Pandang Sebuah Kecantikan
Kenapa kita lebih membutuhkan hati yang cantik dibanding
paras yang cantik?
Berapa banyak populasi perempuan saat ini di dunia yang
perbandingannya sudah jauh dengan populasi laki-laki, dan berapa banyak dari
populasi perempuan tersebut yang masih khawatir dengan kondisi fisik mereka.
Tidak heran, untuk perawatan kulit saja, para perempuan ini rela menghabiskan
ratusan juta rupiah, hanya untuk; terlihat lebih putih, tanpa bulu, tanpa
jerawat, dan sebagainya, dan sebagainya. Terlepas dari tidak pernah puasnya
manusia akan segala sesuatu, maka perempuan menempati posisi paling depan
mengenai kecantikan.
Apakah naluri seorang perempuan memang seperti itu? Saya
pikir, ya. Siapa sih yang tidak iri dengan seseorang yang hampir tidak kurang
sedikitpun? Tubuhnya tinggi semampai, proporsional, wajah tirus, mata bulat,
bulu mata dan alis tebal, kaki jenjang, dan sebagainya. Orang-orang sudah
menanam definisi cantik yang demikian dalam benak mereka. Maka, bagi seseorang
yang memiliki kondisi fisik sebaliknya, ia akan merasa sangat ‘minder’ dengan
perempuan sempurna itu. Tapi hei, apakah definisi perempuan cantik sebenarnya adalah
yang demikian? Sahabatku, tentu saja jawabannya adalah bukan. Cantik, tidak
memiliki definisi. Cantik hanyalah sebuah argumen, sebuah kenisbian. Sama
halnya seperti kata “enak”. Tidak selamanya definisi enak menurut kalian sama
dengan definisi enak menurut orang lain. Memiliki tubuh yang sempurna layaknya
seorang model, misalnya, tidak akan menjamin Allah menganggapmu cantik. Yap,
kita langsung lari ke Allah, bukan lagi pada manusia. Karena, kebanyakan kita
hanya mengejar penilaian manusia, bukan penilaian Sang Pencipta.
Satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa ada yang lebih
penting dibandingkan dengan paras yang cantik. Apakah itu? Hati yang cantik. Dua
hal ini, memiliki perbedaan. Jika kecantikan paras itu bisa terlihat, maka
tidak dengan kecantikan hati. Jika kecantikan paras itu tercipta dengan
tebalnya make up, maka tidak dengan kecantikan hati. Jika kecantikan
paras itu terjaga dengan perawatan serba mahal, maka tidak dengan kecantikan
hati. Kecantikan hati, hanya bisa terlihat oleh hati yang bersih, hati yang
tampan pada diri laki-laki. Kecantikan hati, tidak tercipta oleh tebalnya
bedak, merahnya lipstik, eyeliner on point, seberapa lama menggambar
alis, tidak begitu. Kecantikan hati justeru akan tercipta oleh hal-hal yang
sangat sederhana; berprasangka baik, misalnya. Kecantikan hati, akan terjaga
hanya oleh orang-orang yang berani untuk istiqomah. Dan sahabatku, yang paling
penting adalah, Islam, menganjurkan kita untuk mempercantik hati, bukan
mempercantik diri, apalagi dengan langkah-langkah yang dibenci Allah.
Dikutip dari Hadits Riwayat Muslim No. 1467, menyebutkan
bahwa “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita shalihah.” Hadits ini, hanya satu di antara sekian banyak hadits
yang mengagungkan wanita shalihah, bukan wanita yang cantik.
Lantas, jika seperti itu, ya sudahlah, saya tidak perlu
repot-repot perawatan, tidak perlu rajin cuci muka dan sebagainya. Bukan
begitu, sahabat. Ketika kita sudah memiliki hati yang cantik, nan bersih, maka
kita akan mencintai kebersihan di luar diri kita. Perawatan itu harus, lho.
Yang tidak boleh itu, adalah berlebihan dalam hal tersebut, sampai menghambur-hamburkan
uang, apalagi dengan metode yang menentang takdir, yang berniat untuk mengubah
ciptaan Allah, mengesankan ketidaksyukurannya kita pada pemberian-Nya. Maka,
tidak ada salahnya koq, kita berdandan agar terlihat rapi.
Lantas bagaimana untuk memiliki hati yang cantik? Kabar
gembiranya adalah, memiliki hati yang cantik tidak serepot menggambar alis,
koq. Tidak serumit memasang bulu mata, pun memakai eyeliner. Hati yang cantik
bisa tercipta dengan hal-hal yang sangat sederhana. Kalian tidak menghujat
orang, tidak mengomentari hidup orang, tidak iri terhadap seseorang, maka
kalian telah mempercantik hati kalian. Apalagi, kalian berprasangka baik, tidak
suudzon, berpikir positif, maka kalian itu sangat cantik. Mudah sekali,
bukan?
Bermimpilah untuk memiliki hati yang cantik. Merasa iri-lah
pada mereka yang mampu memperbaiki diri, memiliki kelembutan hati, dan memiliki
keteguhan jiwa. Tiru-lah mereka yang selalu ingin berbuat baik. Tak apa, jika
orang lain tidak bisa melihat kecantikan itu. Karena sekali lagi, hati yang
cantik akan ditemukan oleh hati yang tampan. Tidak mungkin hati yang kotor bisa
melihat kecantikan hati kita. Puluhan tahun ke depan, kulit kita akan mengerut,
rambut kita akan memutih, segala yang kita banggakan tidak akan secantik ini
lagi. Maka jika kita senantiasa memiliki hati yang cantik, orang terbaik-lah
yang akan berada di samping kita sampai waktu itu tiba J
No Need to Say Goodbye
Oleh : Ulfa
Tapani
Aku
masih bergetar. Berusaha dengan sepenuh tenaga menggenggam handphone-ku.
Mendengar alunan merdu, suara khas seseorang yang pernah mengisi hari-hariku
dengan senyuman. Hari-hariku dalam balutan seragam, di antara bangku-bangku
cokelat, di lingkungan putih-abu. Dan ia duduk di sampingku, siap menghiburku
jika wajahku murung, siap menjailiku saat suasana membosankan, siap meminjamkan
bahunya saat aku menangis. Tubuhku semakin bergetar. Bergetar. Hingga aku tak
bisa menahan berat tubuhku. Hingga aku lemas. Hingga aku terjatuh. Hingga
airmataku tak sanggup kubendung. Blue…..
***
Sial! Mengapa di saat-saat genting
seperti ini tidak ada satu nomor penting pun yang aktif? Kemana mereka? Sampai
berani mematikan handphone, lupa menghubungi orang-orang penting. Sampai aku
sendiri baru diberi berita. Ah, sudahlah, tidak ada gunanya aku terus mengutuk!
Yang terpenting saat ini adalah, aku harus segera sampai. Harus.
Kriiiiing
“Assalamualaikum,
hallo.. hallo?????”
“Hal… Halo.. Ris..ni…dah…sampe?”
“Hallo?? Wi?? Sinyalnya jelek, bisa
bicara lebih keras lagi?? Hallo????”
Tut..tut..tut…
Hhhhhhh… Aku menghela nafas panjang.
Selalu saja. Semua ini membuat jantungku semakin tidak teratur detaknya. Aku
menyandarkan kepalaku ke jok bus yang melaju dengan kencang. Menatap keluar
jendela, menatap panorama yang bergerak sejalan dengan laju bus, bergerak
cepat, sangat cepat hingga berlalu, hanya tinggal jejak. Jejak. Ya, aku ingin
menelusuri jejakku bersamanya. Dulu…
***
“Yilooooooooooooooo..!! tebak aku
punya kejutan apa?”
“Apa? Eh.. tunggu tunggu.. kayaknya
aku tahu deh..itu kan….?” Aku menyambutnya yang baru sampai ke ruang kelas
sudah teriak-teriak dengan sumringah.
“Aaaaaaaa….. im so happy……yilooo……”
Dia memelukku erat
“Ada apa sihh???? Ayo ceritain….”
“Nih, coba kamu baca deh” Dia
menyerahkan handphone-nya menyuruhku membaca chattingan-nya
dengan seseorang. Aku tersenyum lebar. Ini selalu menjadi topik yang menarik.
“Aku yakin dia juga suka sama kamu”
“Duuuhhh jangan bikin aku ge-er
dong… nanti kalo aku kege-eran, terus berharap setinggi langit. Jatuhnya
bakalan sakit banget”
Aku tertawa melihatnya bercerita
dengan sangat ekspresif. Sejurus kemudian teman sekelas ribut masuk ruangan
karena guru matematika sudah datang. Obrolan kami pun tertunda.
“Yilo, kamu udah kerjain PR-kah?”
“Belum”
“Ah benar dugaanku”
“Hahahaha”
***
Ketahuilah. Jika kamu ingin mencari
seorang teman, kamu akan menemukannya dengan mudah walau hanya dengan
mengedipkan matamu. Namun, jika kamu ingin mencari seorang sahabat, itu tidak
semudah mengedipkan mata, bahkan jika hanya berusaha menganggap seseorang itu
sahabat, berharap ia benar-benar sahabatmu, itu akan sangat sulit apalagi
ketika kamu dikecewakan. See? It’s not as easy as you thought.
Entah mengapa aku merasa Tuhan
sangat baik, karena ia telah menganugerahkanku seorang sahabat yang entah mengapa
aku merasa dia sangat berharga. Mungkin orang bisa anggap ini biasa saja, namun
aku merasa kisah ini luar biasa, hingga aku tak bisa menggambarkannya. Karena
kisah kami terlalu indah. Terlalu indah hingga tak bisa kulukiskan.
Aku menatap langit yang sangat biru
hari ini, indah sekali dengan dihiasi mentari yang bersinar kuning. Hmm.. semua
ini mengingatkanku padanya. Aku kembali menatap handphone-ku, melihat
pesan-pesanku yang tak kunjung dibalas. Aku menghela nafas. Membuka video
singkat, buatannya. Seketika memoriku kembali berputar.
***
Pagi ini, entah mengapa aku mencium
bau kejahilan dari wajahnya. Saat dia baru datang saja, dia sudah senyum-senyum
tidak jelas, tapi aku tahu itu bukan senyuman kasmarannya. Dia terus menahan
tawanya saat menuju ke bangku. Dan aku siap menimpuknya dengan buku kalau-kalau
jailnya kambuh.
“Cepat katakan”
“Apa? Diih… emang aku mau bicara
apa? Haha”
“Ayolah Blue.. kenapa sih??”
“Mmmm.. hahahahahahaha” tawanya
meledak. Gawat! Posisiku tidak aman.
“Blue.. kenapa sih??? Ohhhhhh…
jangan bilang kamu….. buku coklatku… buku coklatku beneran terbawa olehmu????”
“Menurutmu aku bakalan jawab apa??
Hihi….”
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah….
Blue!!!!!!!!!!!!!!!!” aku segera memulai serangan timpukanku.
“Hahahahahahahaha.. aduduh,, ampun
ampuuuunnn. Lagian kamu mau mukul sekeras apa juga percuma,, aku udah tahu koq!
Udah baca semua isinya..wlee!”
“Blue….. ihhhh nyebelin
beneran..!!!”
“Lagian kenapa sih yilo…? Dengar
ya,, urusan perasaan itu, apalagi perasaan mengenai asmara itu udah biasa kali
dialami sama kita, salah sendiri susah curhat, jadinya kan aku nekat, ahaha
tapi beneran aku gak sengaja bawa buku itu, tahu-tahu udah ada di kamarku..”
“Ah,, gatau lah, bete!!!”
“Emm,, masa sih.. kalo cemberut gitu
nanti Mr.FAD-nya gak suka lho…”
“Blue…stop it!!!!”
“Haha,, iya iya ngga koq.. tapi kalo
Mr. SA gimana?
Aku segera mengambil kamus tebalku
sebagai senjata pamungkas.
***
Suasana bus mulai panik. Tiba-tiba
bus berjalan tersendat-sendat hingga akhirnya berhenti di tengah jalan. Aku
menoleh ke sekitarku. Anak kecil di sebelah tempat dudukku tak henti menangis.
Ada apa ini? Semua penumpang keluar dari bus, termasuk aku. Ternyata busnya
mogok. Please, masalah apa lagi ini? Aku menoleh panik. Mencoba
menghubungi Laila, sahabatku.
“Assalamualaikum”
“Waalaikumsalam, La kamu
dimana sekarang?”
Tak ada jawaban.
“La… please, jawab..”
“Risa….”
Aku tidak perlu bertanya lagi. Aku
langsung membawa barang-barangku, dan bergegas mencari taksi. Perjalanan yang
biasanya aku nikmati ini terasa begitu panjang dan lama. Atau karena hatiku
yang tidak bisa teratur ini? Apa karena pikiranku yang semakin kacau? Ah,
apapun itu. Aku harus segera sampai!!
***
“Yilo,, kita beneran gak sih besok
UN? Aku masih gak sadar..”
“Lebay deh, yaiyalah, kamu gak mau
buru-buru pisah kan sama aku?? Haha”
“Idiiiihhh… enak aja.. kamu bener
yilo.. “
Aku terdiam. Oke, ini obrolan
serius.
“Ini terakhir kali aku duduk di
samping kamu ya?”
“Blue please jangan bicarain
itu..”
“Eh, nanti pas graduasi aku minta
sesuatu boleh??”
“Apa?”
“Mm.. aku pengen kamu nyanyi buat
aku..”
“Apa?? Ngga ah..”
“Ih.. bukan di panggung,, direkam
aja..”
“Duh, aku gak pede blue.. kalau
nyanyinya duet kayak biasa baru aku mau”
“Ah kamu gitu…”
“Mmm.. iya deh aku coba…”
***
It started out
as a feeling
which then grew into a hope
which then turned into a quiet thought
which then turned into a quiet word
and then that word grew louder and louder..
‘Til it was a battle cry..
which then grew into a hope
which then turned into a quiet thought
which then turned into a quiet word
and then that word grew louder and louder..
‘Til it was a battle cry..
Aku
berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang tidak berubah dari semenjak aku
pertama kali menginjakkan kaki di sini. Aku melihat banyak sandal di depan
rumahnya. Kakiku tidak cukup kuat untuk melangkah. Mulutku tidak cukup tangguh
untuk mengucapkan salam. Tubuhku tiba-tiba saja bergetar. Aku tidak bisa
mengatur detak jantungku. Aku memeluk erat kado yang kubawa. Bibirku bergetar,
aku menggigit bibirku untuk menahan air yang akan tumpah dari mataku. Tapi aku
gagal. Aku tak bisa menahannya.
I’ll come back..
when you call me..
no need to say goodbye..
no need to say goodbye..
Aku
menguatkan hati, melangkah masuk. Segera aku cium aroma haru-biru. Banyak orang
di dalam. Tak satupun aku lihat seulas senyum dari mereka. Semua berkumpul di
sini. Biasanya sulit sekali ingin berkumpul seperti ini. Namun, kali ini, tak
satupun yang absen. Mereka menyambutku dengan tatapan duka.
“Ass..Assalam..Assalamualaikum..”
“Waalaikumsalam..”
Dewi yang menjawab salamku dan menyambutku serta langsung memelukku erat.
“Wi…
jangan begini,, aku mohon…..” airmataku tumpah di bahunya
“Ris..
Risa…… Fani Ris…. Fani…..” Dewi tidak bisa mengendalikan dirinya. Apalagi aku.
“Dimana
Wi.. Dimana Fani??”
“Ada
baiknya kau hapus dulu airmatamu itu Ris.. dia tidak boleh tahu kalau kita
sangat sakit hati dengan ini semua, tolong hibur dia.. dia terus menyebut
namamu…”
“Wi…
aku benar-benar tidak kuat Wi..” Dewi menepuk punggungku dengan lembut.
***
Just because
everything’s changing
Doesn’t mean it’s never been this way before
all you can do is try to know who your friends are
as you head off to the war
pick a star on the dark horizon and follow the light
you’ll come back,, when it’s over
no need to say goodbye….
Doesn’t mean it’s never been this way before
all you can do is try to know who your friends are
as you head off to the war
pick a star on the dark horizon and follow the light
you’ll come back,, when it’s over
no need to say goodbye….
Aku membuka pintu kamarnya. Ya
Alloh, kuatkan aku. Aku sama sekali tak melihat kelabu di matanya. Ia tersenyum
melihatku. Tersenyum lebar. Aku melangkah mendekatinya. Duduk di samping
ranjangnya. Aku tidak sanggup menatap wajahya yang pucat pasi. Aku menunduk.
“Y..Yi..Yilo….” ia berusaha memanggil
dengan nada khasnya
Aku masih tidak berani mengangkat
kepalaku. Aku tidak bisa menahan airmataku. Tanganku bergetar. Aku tidak
sanggup menatap tubuhnya yang kurus kering, tulang pipinya yang nampak
terbentuk jelas. Aku tidak sanggup.
“Yiloo…”
Aku memeluknya. Aku memeluknya yang
sedang terbaring lemah. aku tidak bisa menahan isak tangisku. Aku memberanikan
menatap matanya. Mata itu berbinar. Sama sekali tak berair. Blue.. apa kau
sudah kehilangan air matamu? Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana aku harus
menceritakannya? Sahabat yang senantiasa melukis keceriaan dalam hidupku,
sahabat yang senantiasa menghiburku, sahabat yang membuatku belajar berbagi,
kini terbaring lemah termakan penyakit. Lemah. tapi ia tetap cantik di mataku.
“Yilo.. kamu kenapa sih?”
“Blue…. Ma, maaf.. maafkan aku
blue…”
“Maaf untuk apa? Ngaco deh..”
“Blue.. berhentilah berpura-pura
kuat!!”
Ia berhenti mengelak. Kelabu mulai
terlukis di wajahnya. Di depanku, ia tidak akan pernah bisa berpura-pura. Ia
mencoba tertawa. Ia mencoba tertawa di antara aliran airmatanya.
“Yilo.. aku bahkan belum melihat
keponakan-keponakanku.. bahkan aku belum melihat pangeranmu.. Tuhan sudah
membuatku lemah, Tuhan sudah merindukanku Yilo..”
“Please jangan katakan itu
Blue.. kita masih bisa bercanda bersama kan?? Bahkan aku belum bercerita
tentang suasana kampusku, pengalamanku di kampus, di kota peratauanku, masih
banyak yang ingin aku ceritakan Blue..”
“Ceritakanlah.. Ada atau tidak ada,
aku akan tetap mendengarkanmu. Di sampingmu atau tidak di sampingmu, aku akan
setia menunggu ceritamu selesai.. simpan kata-kataku itu baik-baik Yilo..
berjanjilah….”
“Blue…”
Aku menyerahkan kado berwarna biru
dengan pita kuning. Aku membukanya. Tadinya aku ingin memberikan ini pada saat
ulangtahunnya, tapi aku akan memberikannya sekarang. Sengaja aku cetak semua
foto semasa SMA dengan berbagai ceritanya di album hadiahku ini.
“Cantiknya.. untukku?”
Aku mengangguk.
“Hey, ini foto kita?”
Aku tersenyum. Satu per satu aku
ceritakan foto-foto itu. Aku mulai bisa menghapus sedikit demi sedikit
airmataku dan mulai menggantikannya dengan senyuman. Aku bahagia, karena dia
terlihat bahagia saat ini. Bahkan ia mampu tertawa sekarang. Dia sangat cantik
dengan jilbab birunya. Tiba-tiba, ia terbatuk. Dan.. aku melihat darah.
“Blue!” Dia menggenggam tanganku,
mencegahku memberitahu orang-orang
“Tidak,”
“Tidak apanya?? Jangan keras kepala
Blue aku mohon!! Semuanya yang di luar.. toloooong…”
Blue memelukku. Memelukku erat. Kali
ini ia tidak bisa menahan airmatanya.
“Yilo, seperti inikah rasanya sakit?
Sesakit inikah penderitaan orang-orang yag senasib denganku? Yilo.. selama ini
kau ajarkan aku tentang kesabaran, ketaqwaan, tolong kuatkan aku Yilo, tolong
kembalilah ajarkan aku untuk sabar dan kuat Yilo.. aku benar-benar tidak
sanggup..”
“Blue…. Kau harus yakin, Allah
bersamamu.. semua sakit yang kaurasakan ini menjadi penggugur dosa-dosamu. Kau
harus kuat Blue… Blue.. aku sendiri harus mencoba tegar dalam pelukanmu,,
padahal aku benar-benar tidak bisa menahan kesedihanku Blue..”
“Yilo.. tolong nyanyikan lagu itu…”
Aku menatap langit-langit kamar.
Memperkuat suaraku. Membelai kepalanya yang dalam pelukanku. Dan mulai
melantunkan lagu kesukaannya, hadiah yang aku berikan sebagai pengabul
pintanya..
Now we’re back
to beginning
it’s just a feeling and no one knows yet
but just because they can’t feel it too
Doesn’t mean that you have to forget
let yor memories grow stronger and stronger
‘til they are before your eyes
it’s just a feeling and no one knows yet
but just because they can’t feel it too
Doesn’t mean that you have to forget
let yor memories grow stronger and stronger
‘til they are before your eyes
Tubuhnya yang semula di pelukanku
segera dirangkul oleh seorang perawat. Aku terpaku. Aku melihatnya dibawa
memakai kursi roda. Semua orang panik, Darah mengalir dari mulutnya. Aku
terhenyak. Dengan sisa darah yang menempel di lengan bajuku. Aku merasakan
langit yang semula biru berubah menjadi kelabu. Tak ada lagi sinar kuning dari
sang surya. Aku terjatuh dan berlutut. Aku tidak mengerti dengan apa yang
terjadi. Blue, mengapa kau tertidur? Aku belum selesai bernyanyi..
You’ll come
back..when they call you
no need to say goodbye..
you’ll come back.. when they call you
no need to say goodbye…….
no need to say goodbye..
you’ll come back.. when they call you
no need to say goodbye…….
Nyanyian
Sendu
Karya Imajinasi
-Ulfa Tapani
Suasana masih beku dari pertama kali mereka bertatap wajah. Namun
tak sampai sedetik, pandangan langsung melarikan diri, memilih untuk menatap
kosong ke depan. Duduk berdampingan tidak mereka jadikan alasan untuk saling
bertatap. Satu menunduk, satu termangu, masing-masing menganalisa, tidak dapat
menerjemahkan perasaan yang tengah bergemuruh di antara mereka berdua. Ya,
setelah sekian tahun tak berjumpa, tak saling berbagi kabar dan cerita, mereka
kembali bertemu dengan romansa yang berbeda.
“Apa kabar?”
pertanyaan itu memecah keheningan.
“Kabar baik.
Bagaimana denganmu?”
“Aku juga baik..”
Hanya tercipta
sepotong percakapan, sisanya kembali sibuk dengan kecanggungan masing-masing. Entah
untuk alasan apa mereka menciptakan sebuah kebekuan dalam pertemuan, namun ini
hanya segumpal perasaan asing yang tak pernah mereka ciptakan sebelumnya. Yang
pria mulai tersinggung karena sebuah fakta. Ia seorang pria, masa’ iya harus
jadi pendiam macam seorang wanita? Ia harus segera mencairkan suasana.
“Lama tak bertemu,
sibuk apa sekarang?” Sang pria menoleh kepada gadis yang konsisten menunduk.
“Aku sekarang
hanya menghabiskan waktu mengajar santri di pesantren, membagi ilmuku yang tak
seberapa..”
Sang pria menatap
gadis berjilbab biru itu, setidaknya ia bisa mencuri pandang selama gadis itu
tak mengangkat kepalanya.
“Mmm…”
“Kamu sendiri
sibuk apa sekarang, Ndra?” akhirnya sang gadis mau merangkai percakapan, bahkan
dengan menyebut nama panggilan sang pria.
“Aku sekarang
bekerja di kantor kelurahan Fa..” sang pria pun membalas menyebut nama
panggilan sang gadis.
Bukan.
Ini bukan tentang
sang pria dan sang gadis. Ini tentang Rendra dan Syifa.
***
“Katanya, ada yang
ingin kamu bicarakan Fa, apa itu?”
“Menurutmu apa
Ndra?”
“Menurutku? Apa
kamu pikir
aku tahu jawabannya?”
“Aku pikir
begitu..”
“Aku tidak tahu
Fa….”
‘Selama ini kau
tidak tahu? Atau pura-pura tidak tahu?”
Sedikit terkejut,
Rendra menoleh ke arah Syifa yang kini mulai berani menatapnya. Entah
bagaimana, tapi kejanggalan itu mulai muncul. Gadis pendiam yang selama ini ia
kenal tiba-tiba saja menatap dengan penuh antusias. Ia seperti memiliki berjuta
peluru yang hendak ia tembakkan satu per satu. Dan peluru pertama telah
ia tembakkan.
“Aku..aku.. tidak
tahu. Apa yang sedang kamu bicarakan Fa?”
“Apa yang sedang
aku bicarakan? Ah.. kamu benar, apa yang sedang aku bicarkan? Aku tidak tahu,,”
“Fa, ada apa
sebenarnya?”
“Ada apa? Aku
tidak tahu..”
“Jangan pura-pura
tidak tahu Fa..”
“Harusnya kalimat
itu yang aku lontarkan padamu” gadis itu tersenyum sinis.
“Aku tidak bisa
mengerti kalau kamu tidak mau menjelaskan Fa, tolong jangan beri aku teka-teki
yang sulit”
“Setidaknya kamu
ingat, pertama kali kita bertemu dan tiba-tiba saja temanku yang juga temanmu
mengatakan sesuatu. Atau kamu tidak ingat? Atau sama sekali tidak mau ingat?”
“Fa..”
“Apa selama ini kamu tahu, atau sama sekali tidak tahu?
Kalau aku menghabiskan banyak waktu memikirkanmu, menghabiskan seluruh waktu
untuk bermimpi tentangmu, tentang angan yang tak pernah bisa aku capai. Apa
kamu tidak tahu? Atau tidak mau tahu? Atau bahkan tidak pernah memikirkan hal
itu sama sekali?”
“Dulu kamu sudah
menjadi milik seseorang Fa, kenapa harus aku paksakan perasaan yang dulu??”
“Tapi aku telah
mengakhirinya. Aku sadari semuanya. Tapi mengapa setelah kamu tahu, kamu
basa-basi membahas tentang itu pun tidak, memberi tahu bagaimana perasaanmu pun
tidak”
“Kamu tidak pernah
menanyakan hal itu Fa..”
‘Harus aku
tanyakan?!!!!”
Matanya mulai
memerah. Rendra bisa melihat mata sang gadis yang berkaca-kaca penuh amarah.
Gadis itu tidak tahu tentang hal yang diketahui oleh Rendra. Sama sekali tidak
tahu. Rendra menghela nafas. Mencoba mengendalikan diri, berusaha menjelaskan yang
terbaik.
“Aku tidak ingin
terlalu terburu-buru soal perasaan Fa.. kamu tahu, perasaan itu seperti cuaca,
mudah sekali berubah. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah perasaan itu
semakin jelas terlihat atau malah semakin hambar.”
“Waktu? Usiamu
sekarang 28 kau masih berbicara tentang waktu? Hendak sampai kapan kamu
menunggu hah?”
“Apa yang
sebenarnya kamu inginkan Fa? APA???????” Rendra setengah berteriak.
Gadis itu
terhenyak. Ia segera menghela nafas, mengusap wajah. Rendra bisa mendengarkan
desahan istigfar yang diucapkannya. Emosi memang tidak bisa ditebak kapan akan
tersulut dan kemudian berkobar-kobar. Jelasnya, perempuan sulit mengendalikan
diri ketika emosinya tidak stabil. Perempuan bisa mengucapkan apa saja. Bahkan
bisa melakukan hal tak terduga, jika tak pandai mengendalikan diri. Gadis itu
menutup wajahnya. Istigfar-nya semakin jelas terdengar dibumbui helaan nafas
yang kencang. Ia terisak.
“Fa?”
Memahami wanita
itu orang bijak bilang seperti ketika menonton film asing yang tidak ada subtitle-nya.
Tidak paham. Hanya bisa menebak dari ekspresi dan gerak-geriknya. Dan kaum pria
terpaksa harus mencari cara untuk bisa mengerti, dan paham, tanpa menyinggung
perasaannya. Rendra membiarkan sang gadis puas dengan tangisannya.
“M..maaf…” gadis
itu tersedu
“Tak apa Fa, kamu
bisa menangis sepuasnya, jika itu bisa membuatmu lega”
“Aku mungkin bisa
menyembunyikan perasaan ini bertahun-tahun, tapi aku tidak bisa menahannya
terlalu lama. Dulu, ketika temanku bilang ada yang menyukaiku, aku merasa biasa
saja. Tapi, setelah aku lihat semua kebaikanmu terhadapku,
aku merasa ada sesuatu yang membuatku tertarik. Perhatianku kamu curi lewat
kebaikan-kebaikanmu. Aku yang dulu benar-benar buta bermain dengan cinta yang
benar-benar salah. Dengan sebuah hubungan yang seharusnya tidak pernah aku
jalani. Aku tidak paham dari dulu, bahwa sebenarnya aku tidak perlu mengemis
rasa suka dan rasa cinta dari seorang laki-laki manapun. Belum waktunya. Dan
ketika aku ditunjukkan ke jalan yang bercahaya, bertemu dengan seorang guru di
sebuah pesantren, aku mulai memperbaiki diri dan berhijrah. Dan ketika itu
pula, aku memendam setiap kali aku terpikat pada seorang adam. Ya. Itu kamu.”
Rendra
mendengarkan dengan takjim setiap kata yang terucap dari sang gadis. Ia seperti
tahu semuanya, seperti tak perlu dijelaskan lagi. Ia hanya bisa menatap kosong,
meresapi, mengangguk setiap kali Syifa menoleh saat bercerita.
“Saat kamu
menolongku yang sedang dimaki-maki oleh seorang laki-laki, saat kamu membantuku
saat aku dibentak oleh seorang laki-laki, saat kau menyelamatku saat menjelajah
di hutan, kau membantuku, mengobatiku, menuntunku. Saat kau memberikan aku
lilin saat aku ketakutan dalam gelap, saat kau membelaku ketika aku dibentak
oleh seorang laki-laki. Aku mengenang itu semua justru setelah jauh-jauh hari
setelah kejadian-kejadian itu. Aku baru menyadari itu, di saat kamu mungkin
sudah lupa bahwa kamu pernah menyukaiku”
“Fa…”
“Aku benar-benar
bodoh. Itu kan yang akan kauucapkan? Aku
memang bodoh, karena menyukai orang yang sama sekali tidak menyukaiku. Aku
benar-benar menghabiskan waktuku untuk seseorang yang sama sekali tidak pernah
memikirkanku.”
“Tolong jangan
terlalu cepat mengambil kesimpulan”
Syifa menoleh ke
arah Rendra. Matanya yang sembap bertemu dengan pandangan yang penuh
pengharapan. Pandangan yang tidak pernah berubah dari dulu. Cara pandang yang
berbeda, yang mengandung penuh isyarat. Syifa kembali menundukkan kepalanya.
Tiba-tiba saja Rendra menyimpan sebuah kotak kecil. Tanpa meminta ijin, Syifa
membuka kotak itu perlahan. Hanya sebuah kertas putih yang usang, seperti sudah
disimpan bertahun-tahun. Syifa menatap kertas putih itu, kemudian mendapati
sebuah amplop berisi surat yang membuat ia termangu.
Dari dulu aku ingin sekali belajar melukis
Setidaknya biar bisa melukis setangkai bunga yang indah
tapi kau tahu sendiri kapasitasku bukan di dunia melukis
Dari dulu aku ingin menjadi pujangga
setidaknya biar bisa merangkai kata sekedar untuk menyapa
tapi kau tahu kau lebih pandai merangkai kata melebihi seorang pujangga
aku tidak bisa melukis pun tidak bisa puitis
Makannya aku memberikan sebuah kertas kosong
Kau tahu kenapa?
Karena kamu terlalu indah untuk bisa kulukis dan kupuji..
Dan kertas ini kalau kau dapati menguning
itu karena kertas itu yang ingin kuberikan semenjak kita masih berseragam putih-abu
Sampai usiaku menuju senja, aku bahkan tidak berhasil mengumpulkan keberanian
hanya sekedar untuk bilang apa kabar, sedang dekat sama siapa, pacarnya siapa
aku terlalu takut
Mungkin ini adalah hal yang paling kusesali hingga detik ini
Maafkan aku
Aku berbohong bilang perasaan itu seperti cuaca, mudah berubah
Tapi perasaanku padamu seperti matahari yang selalu ingin kembali pada pagi
Setidaknya biar bisa melukis setangkai bunga yang indah
tapi kau tahu sendiri kapasitasku bukan di dunia melukis
Dari dulu aku ingin menjadi pujangga
setidaknya biar bisa merangkai kata sekedar untuk menyapa
tapi kau tahu kau lebih pandai merangkai kata melebihi seorang pujangga
aku tidak bisa melukis pun tidak bisa puitis
Makannya aku memberikan sebuah kertas kosong
Kau tahu kenapa?
Karena kamu terlalu indah untuk bisa kulukis dan kupuji..
Dan kertas ini kalau kau dapati menguning
itu karena kertas itu yang ingin kuberikan semenjak kita masih berseragam putih-abu
Sampai usiaku menuju senja, aku bahkan tidak berhasil mengumpulkan keberanian
hanya sekedar untuk bilang apa kabar, sedang dekat sama siapa, pacarnya siapa
aku terlalu takut
Mungkin ini adalah hal yang paling kusesali hingga detik ini
Maafkan aku
Aku berbohong bilang perasaan itu seperti cuaca, mudah berubah
Tapi perasaanku padamu seperti matahari yang selalu ingin kembali pada pagi
Tulisan di surat itu mulai penuh dengan bercak airmata. Entah apa
yang harus Syifa katakan. Pedih. Pedih andai bisa dikatakan. Keheningan saat
itu hanya dipenuhi dengan isak tangis. Sementara Rendra hanya meremas jemari.
Menyeka keringat dingin. Entah apa yang harus ia lakukan ketika gadis pujaannya
terisak di sampingnya. Rendra. Seorang pria yang selalu ingin menjaga
kehormatan perasaan. Dengan tidak memberikan harapan kepada gadisnya, tidak
ingin terburu-buru menyatakan perasaannya, tidak ingin bermain dengan perasaan
cinta semu sebelum ia sukses dan mampu membeli mahar. Semuanya sudah ia
sampaikan. Semuanya. Hanya dengan kata-kata indah amatiran itu, ia yakin
gadisnya akan paham seluruh cerita dalam kurun waktu 12 tahun ini.
“Kenapa Ndra… kenapa…??????????????????????” Syifa semakin terisak
“M..maafkan aku.. Syifa…”
“Kenapaaaaaaaa……………..”
“Setidaknya semuanya sudah jelas sekarang.. Aku minta maaf, ijinkan
aku menyatakannya sekarang. Tidak. Aku akan menyatakannya nanti, sembari
membawa keluargaku ke rumahmu, Syifa…”
Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terisak terus-menerus. Ia
tidak bisa mengendalikan nafas. Pedih, tapi tak bisa ia ungkapkan. Ia meremas
sebuah kertas tebal yang dilapisi plastik transparan. Meremas-remasnya dengan
penuh kebencian, penuh penyesalan. Ia meremas kertas itu. Sebuah surat.
Undangan pernikahan.
Tangisan ini, anggap saja nyanyian sendu.
***
Langganan:
Postingan (Atom)