Sabtu, 02 Juni 2018


No Need to Say Goodbye
Oleh : Ulfa Tapani
Aku masih bergetar. Berusaha dengan sepenuh tenaga menggenggam handphone-ku. Mendengar alunan merdu, suara khas seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dengan senyuman. Hari-hariku dalam balutan seragam, di antara bangku-bangku cokelat, di lingkungan putih-abu. Dan ia duduk di sampingku, siap menghiburku jika wajahku murung, siap menjailiku saat suasana membosankan, siap meminjamkan bahunya saat aku menangis. Tubuhku semakin bergetar. Bergetar. Hingga aku tak bisa menahan berat tubuhku. Hingga aku lemas. Hingga aku terjatuh. Hingga airmataku tak sanggup kubendung. Blue…..
***
            Sial! Mengapa di saat-saat genting seperti ini tidak ada satu nomor penting pun yang aktif? Kemana mereka? Sampai berani mematikan handphone, lupa menghubungi orang-orang penting. Sampai aku sendiri baru diberi berita. Ah, sudahlah, tidak ada gunanya aku terus mengutuk! Yang terpenting saat ini adalah, aku harus segera sampai. Harus.
            Kriiiiing
            Assalamualaikum, hallo.. hallo?????”
            “Hal… Halo.. Ris..ni…dah…sampe?”
            “Hallo?? Wi?? Sinyalnya jelek, bisa bicara lebih keras lagi?? Hallo????”
            Tut..tut..tut…
            Hhhhhhh… Aku menghela nafas panjang. Selalu saja. Semua ini membuat jantungku semakin tidak teratur detaknya. Aku menyandarkan kepalaku ke jok bus yang melaju dengan kencang. Menatap keluar jendela, menatap panorama yang bergerak sejalan dengan laju bus, bergerak cepat, sangat cepat hingga berlalu, hanya tinggal jejak. Jejak. Ya, aku ingin menelusuri jejakku bersamanya. Dulu…
***
            “Yilooooooooooooooo..!! tebak aku punya kejutan apa?”
            “Apa? Eh.. tunggu tunggu.. kayaknya aku tahu deh..itu kan….?” Aku menyambutnya yang baru sampai ke ruang kelas sudah teriak-teriak dengan sumringah.
            “Aaaaaaaa….. im so happy……yilooo……” Dia memelukku erat
            “Ada apa sihh???? Ayo ceritain….”
            “Nih, coba kamu baca deh” Dia menyerahkan handphone-nya menyuruhku membaca chattingan-nya dengan seseorang. Aku tersenyum lebar. Ini selalu menjadi topik yang menarik.
            “Aku yakin dia juga suka sama kamu”
            “Duuuhhh jangan bikin aku ge-er dong… nanti kalo aku kege-eran, terus berharap setinggi langit. Jatuhnya bakalan sakit banget”
            Aku tertawa melihatnya bercerita dengan sangat ekspresif. Sejurus kemudian teman sekelas ribut masuk ruangan karena guru matematika sudah datang. Obrolan kami pun tertunda.
            “Yilo, kamu udah kerjain PR-kah?”
            “Belum”
            “Ah benar dugaanku”
            “Hahahaha”
***
            Ketahuilah. Jika kamu ingin mencari seorang teman, kamu akan menemukannya dengan mudah walau hanya dengan mengedipkan matamu. Namun, jika kamu ingin mencari seorang sahabat, itu tidak semudah mengedipkan mata, bahkan jika hanya berusaha menganggap seseorang itu sahabat, berharap ia benar-benar sahabatmu, itu akan sangat sulit apalagi ketika kamu dikecewakan. See? It’s not as easy as you thought.
            Entah mengapa aku merasa Tuhan sangat baik, karena ia telah menganugerahkanku seorang sahabat yang entah mengapa aku merasa dia sangat berharga. Mungkin orang bisa anggap ini biasa saja, namun aku merasa kisah ini luar biasa, hingga aku tak bisa menggambarkannya. Karena kisah kami terlalu indah. Terlalu indah hingga tak bisa kulukiskan.
            Aku menatap langit yang sangat biru hari ini, indah sekali dengan dihiasi mentari yang bersinar kuning. Hmm.. semua ini mengingatkanku padanya. Aku kembali menatap handphone-ku, melihat pesan-pesanku yang tak kunjung dibalas. Aku menghela nafas. Membuka video singkat, buatannya. Seketika memoriku kembali berputar.
***
            Pagi ini, entah mengapa aku mencium bau kejahilan dari wajahnya. Saat dia baru datang saja, dia sudah senyum-senyum tidak jelas, tapi aku tahu itu bukan senyuman kasmarannya. Dia terus menahan tawanya saat menuju ke bangku. Dan aku siap menimpuknya dengan buku kalau-kalau jailnya kambuh.
            “Cepat katakan”
            “Apa? Diih… emang aku mau bicara apa? Haha”
            “Ayolah Blue.. kenapa sih??”
            “Mmmm.. hahahahahahaha” tawanya meledak. Gawat! Posisiku tidak aman.
            “Blue.. kenapa sih??? Ohhhhhh… jangan bilang kamu….. buku coklatku… buku coklatku beneran terbawa olehmu????”
            “Menurutmu aku bakalan jawab apa?? Hihi….”
            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah…. Blue!!!!!!!!!!!!!!!!” aku segera memulai serangan timpukanku.
            “Hahahahahahahaha.. aduduh,, ampun ampuuuunnn. Lagian kamu mau mukul sekeras apa juga percuma,, aku udah tahu koq! Udah baca semua isinya..wlee!”
            “Blue….. ihhhh nyebelin beneran..!!!”
            “Lagian kenapa sih yilo…? Dengar ya,, urusan perasaan itu, apalagi perasaan mengenai asmara itu udah biasa kali dialami sama kita, salah sendiri susah curhat, jadinya kan aku nekat, ahaha tapi beneran aku gak sengaja bawa buku itu, tahu-tahu udah ada di kamarku..”
            “Ah,, gatau lah, bete!!!”
            “Emm,, masa sih.. kalo cemberut gitu nanti Mr.FAD-nya gak suka lho…”
            “Blue…stop it!!!!”
            “Haha,, iya iya ngga koq.. tapi kalo Mr. SA gimana?
            Aku segera mengambil kamus tebalku sebagai senjata pamungkas.
***
            Suasana bus mulai panik. Tiba-tiba bus berjalan tersendat-sendat hingga akhirnya berhenti di tengah jalan. Aku menoleh ke sekitarku. Anak kecil di sebelah tempat dudukku tak henti menangis. Ada apa ini? Semua penumpang keluar dari bus, termasuk aku. Ternyata busnya mogok. Please, masalah apa lagi ini? Aku menoleh panik. Mencoba menghubungi Laila, sahabatku.
            Assalamualaikum
            Waalaikumsalam, La kamu dimana sekarang?”
            Tak ada jawaban.
            “La… please, jawab..”
            “Risa….”
            Aku tidak perlu bertanya lagi. Aku langsung membawa barang-barangku, dan bergegas mencari taksi. Perjalanan yang biasanya aku nikmati ini terasa begitu panjang dan lama. Atau karena hatiku yang tidak bisa teratur ini? Apa karena pikiranku yang semakin kacau? Ah, apapun itu. Aku harus segera sampai!!
***
            “Yilo,, kita beneran gak sih besok UN? Aku masih gak sadar..”
            “Lebay deh, yaiyalah, kamu gak mau buru-buru pisah kan sama aku?? Haha”
            “Idiiiihhh… enak aja.. kamu bener yilo.. “
            Aku terdiam. Oke, ini obrolan serius.
            “Ini terakhir kali aku duduk di samping kamu ya?”
            “Blue please jangan bicarain itu..”
            “Eh, nanti pas graduasi aku minta sesuatu boleh??”
            “Apa?”
            “Mm.. aku pengen kamu nyanyi buat aku..”
            “Apa?? Ngga ah..”
            “Ih.. bukan di panggung,, direkam aja..”
            “Duh, aku gak pede blue.. kalau nyanyinya duet kayak biasa baru aku mau”
            “Ah kamu gitu…”
            “Mmm.. iya deh aku coba…”
***
It started out as a feeling
which then grew into a hope
which then turned into a quiet thought
which then turned into a quiet word
and then that word grew louder and louder..
‘Til it was a battle cry..
Aku berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang tidak berubah dari semenjak aku pertama kali menginjakkan kaki di sini. Aku melihat banyak sandal di depan rumahnya. Kakiku tidak cukup kuat untuk melangkah. Mulutku tidak cukup tangguh untuk mengucapkan salam. Tubuhku tiba-tiba saja bergetar. Aku tidak bisa mengatur detak jantungku. Aku memeluk erat kado yang kubawa. Bibirku bergetar, aku menggigit bibirku untuk menahan air yang akan tumpah dari mataku. Tapi aku gagal. Aku tak bisa menahannya.
I’ll come back.. when you call me..
            no need to say goodbye..
Aku menguatkan hati, melangkah masuk. Segera aku cium aroma haru-biru. Banyak orang di dalam. Tak satupun aku lihat seulas senyum dari mereka. Semua berkumpul di sini. Biasanya sulit sekali ingin berkumpul seperti ini. Namun, kali ini, tak satupun yang absen. Mereka menyambutku dengan tatapan duka.
Ass..Assalam..Assalamualaikum..”
Waalaikumsalam..” Dewi yang menjawab salamku dan menyambutku serta langsung memelukku erat.
“Wi… jangan begini,, aku mohon…..” airmataku tumpah di bahunya
“Ris.. Risa…… Fani Ris…. Fani…..” Dewi tidak bisa mengendalikan dirinya. Apalagi aku.
“Dimana Wi.. Dimana Fani??”
“Ada baiknya kau hapus dulu airmatamu itu Ris.. dia tidak boleh tahu kalau kita sangat sakit hati dengan ini semua, tolong hibur dia.. dia terus menyebut namamu…”
“Wi… aku benar-benar tidak kuat Wi..” Dewi menepuk punggungku dengan lembut.
***
            Just because everything’s changing
            Doesn’t mean it’s never been this way before
            all you can do is try to know who your friends are
            as you head off to the war
            pick a star on the dark horizon and follow the light
            you’ll come back,, when it’s over
            no need to say goodbye….
            Aku membuka pintu kamarnya. Ya Alloh, kuatkan aku. Aku sama sekali tak melihat kelabu di matanya. Ia tersenyum melihatku. Tersenyum lebar. Aku melangkah mendekatinya. Duduk di samping ranjangnya. Aku tidak sanggup menatap wajahya yang pucat pasi. Aku menunduk.
            “Y..Yi..Yilo….” ia berusaha memanggil dengan nada khasnya
            Aku masih tidak berani mengangkat kepalaku. Aku tidak bisa menahan airmataku. Tanganku bergetar. Aku tidak sanggup menatap tubuhnya yang kurus kering, tulang pipinya yang nampak terbentuk jelas. Aku tidak sanggup.
            “Yiloo…”
            Aku memeluknya. Aku memeluknya yang sedang terbaring lemah. aku tidak bisa menahan isak tangisku. Aku memberanikan menatap matanya. Mata itu berbinar. Sama sekali tak berair. Blue.. apa kau sudah kehilangan air matamu? Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana aku harus menceritakannya? Sahabat yang senantiasa melukis keceriaan dalam hidupku, sahabat yang senantiasa menghiburku, sahabat yang membuatku belajar berbagi, kini terbaring lemah termakan penyakit. Lemah. tapi ia tetap cantik di mataku.
            “Yilo.. kamu kenapa sih?”
            “Blue…. Ma, maaf.. maafkan aku blue…”
            “Maaf untuk apa? Ngaco deh..”
            “Blue.. berhentilah berpura-pura kuat!!”
            Ia berhenti mengelak. Kelabu mulai terlukis di wajahnya. Di depanku, ia tidak akan pernah bisa berpura-pura. Ia mencoba tertawa. Ia mencoba tertawa di antara aliran airmatanya.
            “Yilo.. aku bahkan belum melihat keponakan-keponakanku.. bahkan aku belum melihat pangeranmu.. Tuhan sudah membuatku lemah, Tuhan sudah merindukanku Yilo..”
            Please jangan katakan itu Blue.. kita masih bisa bercanda bersama kan?? Bahkan aku belum bercerita tentang suasana kampusku, pengalamanku di kampus, di kota peratauanku, masih banyak yang ingin aku ceritakan Blue..”
            “Ceritakanlah.. Ada atau tidak ada, aku akan tetap mendengarkanmu. Di sampingmu atau tidak di sampingmu, aku akan setia menunggu ceritamu selesai.. simpan kata-kataku itu baik-baik Yilo.. berjanjilah….”
            “Blue…”
            Aku menyerahkan kado berwarna biru dengan pita kuning. Aku membukanya. Tadinya aku ingin memberikan ini pada saat ulangtahunnya, tapi aku akan memberikannya sekarang. Sengaja aku cetak semua foto semasa SMA dengan berbagai ceritanya di album hadiahku ini.
            “Cantiknya.. untukku?”
            Aku mengangguk.
            “Hey, ini foto kita?”
            Aku tersenyum. Satu per satu aku ceritakan foto-foto itu. Aku mulai bisa menghapus sedikit demi sedikit airmataku dan mulai menggantikannya dengan senyuman. Aku bahagia, karena dia terlihat bahagia saat ini. Bahkan ia mampu tertawa sekarang. Dia sangat cantik dengan jilbab birunya. Tiba-tiba, ia terbatuk. Dan.. aku melihat darah.
            “Blue!” Dia menggenggam tanganku, mencegahku memberitahu orang-orang
            “Tidak,”
            “Tidak apanya?? Jangan keras kepala Blue aku mohon!! Semuanya yang di luar.. toloooong…”
            Blue memelukku. Memelukku erat. Kali ini ia tidak bisa menahan airmatanya.
            “Yilo, seperti inikah rasanya sakit? Sesakit inikah penderitaan orang-orang yag senasib denganku? Yilo.. selama ini kau ajarkan aku tentang kesabaran, ketaqwaan, tolong kuatkan aku Yilo, tolong kembalilah ajarkan aku untuk sabar dan kuat Yilo.. aku benar-benar tidak sanggup..”
            “Blue…. Kau harus yakin, Allah bersamamu.. semua sakit yang kaurasakan ini menjadi penggugur dosa-dosamu. Kau harus kuat Blue… Blue.. aku sendiri harus mencoba tegar dalam pelukanmu,, padahal aku benar-benar tidak bisa menahan kesedihanku Blue..”
            “Yilo.. tolong nyanyikan lagu itu…”
            Aku menatap langit-langit kamar. Memperkuat suaraku. Membelai kepalanya yang dalam pelukanku. Dan mulai melantunkan lagu kesukaannya, hadiah yang aku berikan sebagai pengabul pintanya..
            Now we’re back to beginning
            it’s just a feeling and no one knows yet
            but just because they can’t feel it too  
            Doesn’t mean that you have to forget
            let yor memories grow stronger and stronger
            ‘til they are before your eyes
            Tubuhnya yang semula di pelukanku segera dirangkul oleh seorang perawat. Aku terpaku. Aku melihatnya dibawa memakai kursi roda. Semua orang panik, Darah mengalir dari mulutnya. Aku terhenyak. Dengan sisa darah yang menempel di lengan bajuku. Aku merasakan langit yang semula biru berubah menjadi kelabu. Tak ada lagi sinar kuning dari sang surya. Aku terjatuh dan berlutut. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Blue, mengapa kau tertidur? Aku belum selesai bernyanyi..
You’ll come back..when they call you
no need to say goodbye..
you’ll come back.. when they call you
no need to say goodbye…….


Tidak ada komentar:

Posting Komentar