Rabu, 04 Juli 2018

Kasus Tiktok dan Seleb Tiktok Dadakan

Belakangan ini, saya lagi senang mengamati kasus-kasus yang sedang hangat saat-saat ini. Salah satu yang sangat menarik perhatian saya adalah fenomena tiktok yang begitu kontroversial. Setelah mencari tahu, bagaimana aplikasi musik ini bisa menimbulkan kontroversi, akhirnya saya tertarik untuk mengikuti beritanya, hingga saya menemukan issue baru yaitu tentang seleb tiktok dadakan yang bernama bowo (ig: bowo_alpenliebe). Anak berusia 13 tahun ini sedang menjadi perbincangan hangat akhir-akhir ini gegara dia (dan menurut sumber lain ada pihak lain) yang melaksanakan meet and greet dan memasang tarif 80k untuk berfoto dengan bowo. Sekilas, berita ini tampak menggelikan, mengingat hal tersebut betul-betul terjadi di kalangan anak-anak baru gede.
Berita mengejutkan datang ketika saya membaca salah satu postingan orang lain mengenai tingkah laku fans bowo ini. Miris sekali, dan sedikit kurang percaya dengan kelakuan fansnya yang sampai murtad gegara menuhankan idolanya. Bahkan, ada sebuah postingan yang tidak wajar yang berisi rela menjual ginjal, rela kehilangan keperawanannya dan bahka rela menjual ibunya demi bertemu dengan bowo ini. Saya tidak melihat postingan aslinya, issue ini saya temukan di salah satu artikel di internet yang memuat beberapa bukti screenshoot-nya. Jengah dengan berita ini akhirnya saya ingat di facebook ada yang pernah membagikan link berupa permintaan bantuan untuk menandatangani petisi dalam rangka pemblokiran aplikasi tiktok. Tanpa pikir panjang, saya memutuskan untuk ikit menandatangani petisi tersebut dan membagikannya ke grup-grup di WA saya.
Pemblokiran tiktok, dengan kisah bowo ini tentulah dua isu yang berbeda. Namun jujur, pada awalnya saya jengah karena bocah ini yang membuat saya ingin aplikasi tiktok ini segera diblokir. Setelah isu pemblokiran tiktok ini, muncullah isu baru mengenai bowo dari sebuah instastory yang menjelaskan kondisi bowo. Awalnya, saya tidak terlalu tertarik dengan anak ini, sampai akhirnya saya mengunjungi instagramnya dan melihat komentar di postingan terakhirnya. Komentarnya kalau saya tidak salah lihat itu mencapai ratusan ribu. Saya membaca komentar itu sebagian dan boom! Saya menemukan begitu banyak haters bowo yang sampai menghina habis-habisan. Kembali ke instastory cerita bowo, saya membaca dari postingan tersebut mengenai kondisi psikis bowo yang sedang terganggu lantaran komentar-komentar negatif tentang dirinya, di instastory tersebut dijelaskan bahwa bowo anak yang baik, rajin sholat, ia sama sekali tidak paham dengan apa yang sedang menimpa dirinya karena dia hanya melakukan hal yang menurutnya menyenangkan dan itu sangat wajar mengingat usianya yang memang sedang dalam proses transisi ke masa remaja. Kemudian, saya juga menemukan postingan facebook yang menceritakan tentang kisah bowo yang diundang ke salah satu acara talkshow di televisi yang menghadirkan bowo dan Ibundanya. Sesak sekali, saat membaca bahwa Ibunda bowo sampai rela berhenti bekerja demi melindungi anaknya yang sedang diserang haters mengingat tidak ada anggota keluarganya yang bisa menjaga bowo karena alasan pekerjaan. Apalagi, ketika Ibundanya menangis meratapi nasib anaknya. Kawan... Ibu mana sih yang rela anaknya dicaci maki secara tidak wajar?
Once again, pemblokiran aplikasi tiktok dengan kisah bowo adalah dua isu yang berbeda. Ada saja sebagian orang yang menghubungkannya, sampai mungkin berpikiran bahwa ini adalah langkah untuk menyerang bowo. Tidak sama sekali. Banyak juga yang berpendapat bahwa sebetulnya aplikasi ini tidak perlu diblokir karena yang salah itu penggunanya. Guys, kalau konsumennya adalah anak-anak yang kita tahu sulit sekali bagi anak zaman sekarang mendengarkan nasihat orangtua, bahkan banyak orangtua di luar sana yang kurang peduli dengan dampaknya, maka sulit bagi kita mengontrol si pengguna. Maka, pemblokiran ini adalah langkah yang tepat agar anak-anak tidak difasilitasi dengan aplikasi yang berpotensi untuk merusak moral mereka.
On the other hand, mengenai kasus bowo, ini sungguh hal yang sangat memprihatinkan berhubunga dengan "mulut liar" netizen. Kita tahu bahwa netizen Indonesia itu sungguh sangat sensitif terhadap hal-hal yang kontroversial. Sekalinya ada hal yang booming, berbondong-bondong mereka membanjiri kolom komentar, mengutarakan kebencian mereka. Kawan, itulah yang disebut hate speech. Ketika ujaran-ujaran kebencian itu membanjiri kolom komentar seseorang, maka tentu orang tersebut akan merasa down. Ya katakanlah artis, yang memang mungkin hal tersebut sudah biasa bagi mereka, maka mereka tidak begitu memperdulikan karena hal itu merupakan salah satu konsekuensi mereka sebagai publik figur. Tapi hey, seorang bowo, anak remaja yang sedang mencari jati dirinya, bagaimana perasaan dia saat membaca komentar-komentar tersebut? Ini sudah termasuk ke dalam kasus bullying. Lebih jauh lagi, bagaimana perasaan Ibu dan keluarganya? Can you imagine, kalau hal itu terjadi pada anak atau sanak saudaramu? Bullying itu sudah jelas-jelas sangat membahayaka kondisi kejiwaan seseorang.
Mulailah bijak dalam menggunakan media sosial. Jangan menjadi seseorang yang judgemental. Biasakan tabayyun; mencari pembuktian sebelum menghakimi seseorang. Hey, banyak sekali urusan negara yang perlu kita pikirkan dibanding mengomentari hidup orang yang sungguh tidak ada kaitannya dengan hidup kita.

Sabtu, 02 Juni 2018

Sudut Pandang Sebuah Kecantikan


Kenapa kita lebih membutuhkan hati yang cantik dibanding paras yang cantik?
Berapa banyak populasi perempuan saat ini di dunia yang perbandingannya sudah jauh dengan populasi laki-laki, dan berapa banyak dari populasi perempuan tersebut yang masih khawatir dengan kondisi fisik mereka. Tidak heran, untuk perawatan kulit saja, para perempuan ini rela menghabiskan ratusan juta rupiah, hanya untuk; terlihat lebih putih, tanpa bulu, tanpa jerawat, dan sebagainya, dan sebagainya. Terlepas dari tidak pernah puasnya manusia akan segala sesuatu, maka perempuan menempati posisi paling depan mengenai kecantikan.
Apakah naluri seorang perempuan memang seperti itu? Saya pikir, ya. Siapa sih yang tidak iri dengan seseorang yang hampir tidak kurang sedikitpun? Tubuhnya tinggi semampai, proporsional, wajah tirus, mata bulat, bulu mata dan alis tebal, kaki jenjang, dan sebagainya. Orang-orang sudah menanam definisi cantik yang demikian dalam benak mereka. Maka, bagi seseorang yang memiliki kondisi fisik sebaliknya, ia akan merasa sangat ‘minder’ dengan perempuan sempurna itu. Tapi hei, apakah definisi perempuan cantik sebenarnya adalah yang demikian? Sahabatku, tentu saja jawabannya adalah bukan. Cantik, tidak memiliki definisi. Cantik hanyalah sebuah argumen, sebuah kenisbian. Sama halnya seperti kata “enak”. Tidak selamanya definisi enak menurut kalian sama dengan definisi enak menurut orang lain. Memiliki tubuh yang sempurna layaknya seorang model, misalnya, tidak akan menjamin Allah menganggapmu cantik. Yap, kita langsung lari ke Allah, bukan lagi pada manusia. Karena, kebanyakan kita hanya mengejar penilaian manusia, bukan penilaian Sang Pencipta.
Satu hal yang perlu kalian ketahui, bahwa ada yang lebih penting dibandingkan dengan paras yang cantik. Apakah itu? Hati yang cantik. Dua hal ini, memiliki perbedaan. Jika kecantikan paras itu bisa terlihat, maka tidak dengan kecantikan hati. Jika kecantikan paras itu tercipta dengan tebalnya make up, maka tidak dengan kecantikan hati. Jika kecantikan paras itu terjaga dengan perawatan serba mahal, maka tidak dengan kecantikan hati. Kecantikan hati, hanya bisa terlihat oleh hati yang bersih, hati yang tampan pada diri laki-laki. Kecantikan hati, tidak tercipta oleh tebalnya bedak, merahnya lipstik, eyeliner on point, seberapa lama menggambar alis, tidak begitu. Kecantikan hati justeru akan tercipta oleh hal-hal yang sangat sederhana; berprasangka baik, misalnya. Kecantikan hati, akan terjaga hanya oleh orang-orang yang berani untuk istiqomah. Dan sahabatku, yang paling penting adalah, Islam, menganjurkan kita untuk mempercantik hati, bukan mempercantik diri, apalagi dengan langkah-langkah yang dibenci Allah.
Dikutip dari Hadits Riwayat Muslim No. 1467, menyebutkan bahwa “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” Hadits ini, hanya satu di antara sekian banyak hadits yang mengagungkan wanita shalihah, bukan wanita yang cantik.
Lantas, jika seperti itu, ya sudahlah, saya tidak perlu repot-repot perawatan, tidak perlu rajin cuci muka dan sebagainya. Bukan begitu, sahabat. Ketika kita sudah memiliki hati yang cantik, nan bersih, maka kita akan mencintai kebersihan di luar diri kita. Perawatan itu harus, lho. Yang tidak boleh itu, adalah berlebihan dalam hal tersebut, sampai menghambur-hamburkan uang, apalagi dengan metode yang menentang takdir, yang berniat untuk mengubah ciptaan Allah, mengesankan ketidaksyukurannya kita pada pemberian-Nya. Maka, tidak ada salahnya koq, kita berdandan agar terlihat rapi.
Lantas bagaimana untuk memiliki hati yang cantik? Kabar gembiranya adalah, memiliki hati yang cantik tidak serepot menggambar alis, koq. Tidak serumit memasang bulu mata, pun memakai eyeliner. Hati yang cantik bisa tercipta dengan hal-hal yang sangat sederhana. Kalian tidak menghujat orang, tidak mengomentari hidup orang, tidak iri terhadap seseorang, maka kalian telah mempercantik hati kalian. Apalagi, kalian berprasangka baik, tidak suudzon, berpikir positif, maka kalian itu sangat cantik. Mudah sekali, bukan?
Bermimpilah untuk memiliki hati yang cantik. Merasa iri-lah pada mereka yang mampu memperbaiki diri, memiliki kelembutan hati, dan memiliki keteguhan jiwa. Tiru-lah mereka yang selalu ingin berbuat baik. Tak apa, jika orang lain tidak bisa melihat kecantikan itu. Karena sekali lagi, hati yang cantik akan ditemukan oleh hati yang tampan. Tidak mungkin hati yang kotor bisa melihat kecantikan hati kita. Puluhan tahun ke depan, kulit kita akan mengerut, rambut kita akan memutih, segala yang kita banggakan tidak akan secantik ini lagi. Maka jika kita senantiasa memiliki hati yang cantik, orang terbaik-lah yang akan berada di samping kita sampai waktu itu tiba J


No Need to Say Goodbye
Oleh : Ulfa Tapani
Aku masih bergetar. Berusaha dengan sepenuh tenaga menggenggam handphone-ku. Mendengar alunan merdu, suara khas seseorang yang pernah mengisi hari-hariku dengan senyuman. Hari-hariku dalam balutan seragam, di antara bangku-bangku cokelat, di lingkungan putih-abu. Dan ia duduk di sampingku, siap menghiburku jika wajahku murung, siap menjailiku saat suasana membosankan, siap meminjamkan bahunya saat aku menangis. Tubuhku semakin bergetar. Bergetar. Hingga aku tak bisa menahan berat tubuhku. Hingga aku lemas. Hingga aku terjatuh. Hingga airmataku tak sanggup kubendung. Blue…..
***
            Sial! Mengapa di saat-saat genting seperti ini tidak ada satu nomor penting pun yang aktif? Kemana mereka? Sampai berani mematikan handphone, lupa menghubungi orang-orang penting. Sampai aku sendiri baru diberi berita. Ah, sudahlah, tidak ada gunanya aku terus mengutuk! Yang terpenting saat ini adalah, aku harus segera sampai. Harus.
            Kriiiiing
            Assalamualaikum, hallo.. hallo?????”
            “Hal… Halo.. Ris..ni…dah…sampe?”
            “Hallo?? Wi?? Sinyalnya jelek, bisa bicara lebih keras lagi?? Hallo????”
            Tut..tut..tut…
            Hhhhhhh… Aku menghela nafas panjang. Selalu saja. Semua ini membuat jantungku semakin tidak teratur detaknya. Aku menyandarkan kepalaku ke jok bus yang melaju dengan kencang. Menatap keluar jendela, menatap panorama yang bergerak sejalan dengan laju bus, bergerak cepat, sangat cepat hingga berlalu, hanya tinggal jejak. Jejak. Ya, aku ingin menelusuri jejakku bersamanya. Dulu…
***
            “Yilooooooooooooooo..!! tebak aku punya kejutan apa?”
            “Apa? Eh.. tunggu tunggu.. kayaknya aku tahu deh..itu kan….?” Aku menyambutnya yang baru sampai ke ruang kelas sudah teriak-teriak dengan sumringah.
            “Aaaaaaaa….. im so happy……yilooo……” Dia memelukku erat
            “Ada apa sihh???? Ayo ceritain….”
            “Nih, coba kamu baca deh” Dia menyerahkan handphone-nya menyuruhku membaca chattingan-nya dengan seseorang. Aku tersenyum lebar. Ini selalu menjadi topik yang menarik.
            “Aku yakin dia juga suka sama kamu”
            “Duuuhhh jangan bikin aku ge-er dong… nanti kalo aku kege-eran, terus berharap setinggi langit. Jatuhnya bakalan sakit banget”
            Aku tertawa melihatnya bercerita dengan sangat ekspresif. Sejurus kemudian teman sekelas ribut masuk ruangan karena guru matematika sudah datang. Obrolan kami pun tertunda.
            “Yilo, kamu udah kerjain PR-kah?”
            “Belum”
            “Ah benar dugaanku”
            “Hahahaha”
***
            Ketahuilah. Jika kamu ingin mencari seorang teman, kamu akan menemukannya dengan mudah walau hanya dengan mengedipkan matamu. Namun, jika kamu ingin mencari seorang sahabat, itu tidak semudah mengedipkan mata, bahkan jika hanya berusaha menganggap seseorang itu sahabat, berharap ia benar-benar sahabatmu, itu akan sangat sulit apalagi ketika kamu dikecewakan. See? It’s not as easy as you thought.
            Entah mengapa aku merasa Tuhan sangat baik, karena ia telah menganugerahkanku seorang sahabat yang entah mengapa aku merasa dia sangat berharga. Mungkin orang bisa anggap ini biasa saja, namun aku merasa kisah ini luar biasa, hingga aku tak bisa menggambarkannya. Karena kisah kami terlalu indah. Terlalu indah hingga tak bisa kulukiskan.
            Aku menatap langit yang sangat biru hari ini, indah sekali dengan dihiasi mentari yang bersinar kuning. Hmm.. semua ini mengingatkanku padanya. Aku kembali menatap handphone-ku, melihat pesan-pesanku yang tak kunjung dibalas. Aku menghela nafas. Membuka video singkat, buatannya. Seketika memoriku kembali berputar.
***
            Pagi ini, entah mengapa aku mencium bau kejahilan dari wajahnya. Saat dia baru datang saja, dia sudah senyum-senyum tidak jelas, tapi aku tahu itu bukan senyuman kasmarannya. Dia terus menahan tawanya saat menuju ke bangku. Dan aku siap menimpuknya dengan buku kalau-kalau jailnya kambuh.
            “Cepat katakan”
            “Apa? Diih… emang aku mau bicara apa? Haha”
            “Ayolah Blue.. kenapa sih??”
            “Mmmm.. hahahahahahaha” tawanya meledak. Gawat! Posisiku tidak aman.
            “Blue.. kenapa sih??? Ohhhhhh… jangan bilang kamu….. buku coklatku… buku coklatku beneran terbawa olehmu????”
            “Menurutmu aku bakalan jawab apa?? Hihi….”
            “Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah…. Blue!!!!!!!!!!!!!!!!” aku segera memulai serangan timpukanku.
            “Hahahahahahahaha.. aduduh,, ampun ampuuuunnn. Lagian kamu mau mukul sekeras apa juga percuma,, aku udah tahu koq! Udah baca semua isinya..wlee!”
            “Blue….. ihhhh nyebelin beneran..!!!”
            “Lagian kenapa sih yilo…? Dengar ya,, urusan perasaan itu, apalagi perasaan mengenai asmara itu udah biasa kali dialami sama kita, salah sendiri susah curhat, jadinya kan aku nekat, ahaha tapi beneran aku gak sengaja bawa buku itu, tahu-tahu udah ada di kamarku..”
            “Ah,, gatau lah, bete!!!”
            “Emm,, masa sih.. kalo cemberut gitu nanti Mr.FAD-nya gak suka lho…”
            “Blue…stop it!!!!”
            “Haha,, iya iya ngga koq.. tapi kalo Mr. SA gimana?
            Aku segera mengambil kamus tebalku sebagai senjata pamungkas.
***
            Suasana bus mulai panik. Tiba-tiba bus berjalan tersendat-sendat hingga akhirnya berhenti di tengah jalan. Aku menoleh ke sekitarku. Anak kecil di sebelah tempat dudukku tak henti menangis. Ada apa ini? Semua penumpang keluar dari bus, termasuk aku. Ternyata busnya mogok. Please, masalah apa lagi ini? Aku menoleh panik. Mencoba menghubungi Laila, sahabatku.
            Assalamualaikum
            Waalaikumsalam, La kamu dimana sekarang?”
            Tak ada jawaban.
            “La… please, jawab..”
            “Risa….”
            Aku tidak perlu bertanya lagi. Aku langsung membawa barang-barangku, dan bergegas mencari taksi. Perjalanan yang biasanya aku nikmati ini terasa begitu panjang dan lama. Atau karena hatiku yang tidak bisa teratur ini? Apa karena pikiranku yang semakin kacau? Ah, apapun itu. Aku harus segera sampai!!
***
            “Yilo,, kita beneran gak sih besok UN? Aku masih gak sadar..”
            “Lebay deh, yaiyalah, kamu gak mau buru-buru pisah kan sama aku?? Haha”
            “Idiiiihhh… enak aja.. kamu bener yilo.. “
            Aku terdiam. Oke, ini obrolan serius.
            “Ini terakhir kali aku duduk di samping kamu ya?”
            “Blue please jangan bicarain itu..”
            “Eh, nanti pas graduasi aku minta sesuatu boleh??”
            “Apa?”
            “Mm.. aku pengen kamu nyanyi buat aku..”
            “Apa?? Ngga ah..”
            “Ih.. bukan di panggung,, direkam aja..”
            “Duh, aku gak pede blue.. kalau nyanyinya duet kayak biasa baru aku mau”
            “Ah kamu gitu…”
            “Mmm.. iya deh aku coba…”
***
It started out as a feeling
which then grew into a hope
which then turned into a quiet thought
which then turned into a quiet word
and then that word grew louder and louder..
‘Til it was a battle cry..
Aku berhenti di depan sebuah rumah minimalis yang tidak berubah dari semenjak aku pertama kali menginjakkan kaki di sini. Aku melihat banyak sandal di depan rumahnya. Kakiku tidak cukup kuat untuk melangkah. Mulutku tidak cukup tangguh untuk mengucapkan salam. Tubuhku tiba-tiba saja bergetar. Aku tidak bisa mengatur detak jantungku. Aku memeluk erat kado yang kubawa. Bibirku bergetar, aku menggigit bibirku untuk menahan air yang akan tumpah dari mataku. Tapi aku gagal. Aku tak bisa menahannya.
I’ll come back.. when you call me..
            no need to say goodbye..
Aku menguatkan hati, melangkah masuk. Segera aku cium aroma haru-biru. Banyak orang di dalam. Tak satupun aku lihat seulas senyum dari mereka. Semua berkumpul di sini. Biasanya sulit sekali ingin berkumpul seperti ini. Namun, kali ini, tak satupun yang absen. Mereka menyambutku dengan tatapan duka.
Ass..Assalam..Assalamualaikum..”
Waalaikumsalam..” Dewi yang menjawab salamku dan menyambutku serta langsung memelukku erat.
“Wi… jangan begini,, aku mohon…..” airmataku tumpah di bahunya
“Ris.. Risa…… Fani Ris…. Fani…..” Dewi tidak bisa mengendalikan dirinya. Apalagi aku.
“Dimana Wi.. Dimana Fani??”
“Ada baiknya kau hapus dulu airmatamu itu Ris.. dia tidak boleh tahu kalau kita sangat sakit hati dengan ini semua, tolong hibur dia.. dia terus menyebut namamu…”
“Wi… aku benar-benar tidak kuat Wi..” Dewi menepuk punggungku dengan lembut.
***
            Just because everything’s changing
            Doesn’t mean it’s never been this way before
            all you can do is try to know who your friends are
            as you head off to the war
            pick a star on the dark horizon and follow the light
            you’ll come back,, when it’s over
            no need to say goodbye….
            Aku membuka pintu kamarnya. Ya Alloh, kuatkan aku. Aku sama sekali tak melihat kelabu di matanya. Ia tersenyum melihatku. Tersenyum lebar. Aku melangkah mendekatinya. Duduk di samping ranjangnya. Aku tidak sanggup menatap wajahya yang pucat pasi. Aku menunduk.
            “Y..Yi..Yilo….” ia berusaha memanggil dengan nada khasnya
            Aku masih tidak berani mengangkat kepalaku. Aku tidak bisa menahan airmataku. Tanganku bergetar. Aku tidak sanggup menatap tubuhnya yang kurus kering, tulang pipinya yang nampak terbentuk jelas. Aku tidak sanggup.
            “Yiloo…”
            Aku memeluknya. Aku memeluknya yang sedang terbaring lemah. aku tidak bisa menahan isak tangisku. Aku memberanikan menatap matanya. Mata itu berbinar. Sama sekali tak berair. Blue.. apa kau sudah kehilangan air matamu? Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana aku harus menceritakannya? Sahabat yang senantiasa melukis keceriaan dalam hidupku, sahabat yang senantiasa menghiburku, sahabat yang membuatku belajar berbagi, kini terbaring lemah termakan penyakit. Lemah. tapi ia tetap cantik di mataku.
            “Yilo.. kamu kenapa sih?”
            “Blue…. Ma, maaf.. maafkan aku blue…”
            “Maaf untuk apa? Ngaco deh..”
            “Blue.. berhentilah berpura-pura kuat!!”
            Ia berhenti mengelak. Kelabu mulai terlukis di wajahnya. Di depanku, ia tidak akan pernah bisa berpura-pura. Ia mencoba tertawa. Ia mencoba tertawa di antara aliran airmatanya.
            “Yilo.. aku bahkan belum melihat keponakan-keponakanku.. bahkan aku belum melihat pangeranmu.. Tuhan sudah membuatku lemah, Tuhan sudah merindukanku Yilo..”
            Please jangan katakan itu Blue.. kita masih bisa bercanda bersama kan?? Bahkan aku belum bercerita tentang suasana kampusku, pengalamanku di kampus, di kota peratauanku, masih banyak yang ingin aku ceritakan Blue..”
            “Ceritakanlah.. Ada atau tidak ada, aku akan tetap mendengarkanmu. Di sampingmu atau tidak di sampingmu, aku akan setia menunggu ceritamu selesai.. simpan kata-kataku itu baik-baik Yilo.. berjanjilah….”
            “Blue…”
            Aku menyerahkan kado berwarna biru dengan pita kuning. Aku membukanya. Tadinya aku ingin memberikan ini pada saat ulangtahunnya, tapi aku akan memberikannya sekarang. Sengaja aku cetak semua foto semasa SMA dengan berbagai ceritanya di album hadiahku ini.
            “Cantiknya.. untukku?”
            Aku mengangguk.
            “Hey, ini foto kita?”
            Aku tersenyum. Satu per satu aku ceritakan foto-foto itu. Aku mulai bisa menghapus sedikit demi sedikit airmataku dan mulai menggantikannya dengan senyuman. Aku bahagia, karena dia terlihat bahagia saat ini. Bahkan ia mampu tertawa sekarang. Dia sangat cantik dengan jilbab birunya. Tiba-tiba, ia terbatuk. Dan.. aku melihat darah.
            “Blue!” Dia menggenggam tanganku, mencegahku memberitahu orang-orang
            “Tidak,”
            “Tidak apanya?? Jangan keras kepala Blue aku mohon!! Semuanya yang di luar.. toloooong…”
            Blue memelukku. Memelukku erat. Kali ini ia tidak bisa menahan airmatanya.
            “Yilo, seperti inikah rasanya sakit? Sesakit inikah penderitaan orang-orang yag senasib denganku? Yilo.. selama ini kau ajarkan aku tentang kesabaran, ketaqwaan, tolong kuatkan aku Yilo, tolong kembalilah ajarkan aku untuk sabar dan kuat Yilo.. aku benar-benar tidak sanggup..”
            “Blue…. Kau harus yakin, Allah bersamamu.. semua sakit yang kaurasakan ini menjadi penggugur dosa-dosamu. Kau harus kuat Blue… Blue.. aku sendiri harus mencoba tegar dalam pelukanmu,, padahal aku benar-benar tidak bisa menahan kesedihanku Blue..”
            “Yilo.. tolong nyanyikan lagu itu…”
            Aku menatap langit-langit kamar. Memperkuat suaraku. Membelai kepalanya yang dalam pelukanku. Dan mulai melantunkan lagu kesukaannya, hadiah yang aku berikan sebagai pengabul pintanya..
            Now we’re back to beginning
            it’s just a feeling and no one knows yet
            but just because they can’t feel it too  
            Doesn’t mean that you have to forget
            let yor memories grow stronger and stronger
            ‘til they are before your eyes
            Tubuhnya yang semula di pelukanku segera dirangkul oleh seorang perawat. Aku terpaku. Aku melihatnya dibawa memakai kursi roda. Semua orang panik, Darah mengalir dari mulutnya. Aku terhenyak. Dengan sisa darah yang menempel di lengan bajuku. Aku merasakan langit yang semula biru berubah menjadi kelabu. Tak ada lagi sinar kuning dari sang surya. Aku terjatuh dan berlutut. Aku tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Blue, mengapa kau tertidur? Aku belum selesai bernyanyi..
You’ll come back..when they call you
no need to say goodbye..
you’ll come back.. when they call you
no need to say goodbye…….



Nyanyian Sendu
Karya Imajinasi
-Ulfa Tapani
Suasana masih beku dari pertama kali mereka bertatap wajah. Namun tak sampai sedetik, pandangan langsung melarikan diri, memilih untuk menatap kosong ke depan. Duduk berdampingan tidak mereka jadikan alasan untuk saling bertatap. Satu menunduk, satu termangu, masing-masing menganalisa, tidak dapat menerjemahkan perasaan yang tengah bergemuruh di antara mereka berdua. Ya, setelah sekian tahun tak berjumpa, tak saling berbagi kabar dan cerita, mereka kembali bertemu dengan romansa yang berbeda.
            “Apa kabar?” pertanyaan itu memecah keheningan.
            “Kabar baik. Bagaimana denganmu?”
            “Aku juga baik..”
            Hanya tercipta sepotong percakapan, sisanya kembali sibuk dengan kecanggungan masing-masing. Entah untuk alasan apa mereka menciptakan sebuah kebekuan dalam pertemuan, namun ini hanya segumpal perasaan asing yang tak pernah mereka ciptakan sebelumnya. Yang pria mulai tersinggung karena sebuah fakta. Ia seorang pria, masa’ iya harus jadi pendiam macam seorang wanita? Ia harus segera mencairkan suasana.
            “Lama tak bertemu, sibuk apa sekarang?” Sang pria menoleh kepada gadis yang konsisten menunduk.
            “Aku sekarang hanya menghabiskan waktu mengajar santri di pesantren, membagi ilmuku yang tak seberapa..”
            Sang pria menatap gadis berjilbab biru itu, setidaknya ia bisa mencuri pandang selama gadis itu tak mengangkat kepalanya.
            “Mmm…”
            “Kamu sendiri sibuk apa sekarang, Ndra?” akhirnya sang gadis mau merangkai percakapan, bahkan dengan menyebut nama panggilan sang pria.
            “Aku sekarang bekerja di kantor kelurahan Fa..” sang pria pun membalas menyebut nama panggilan sang gadis.
            Bukan.
            Ini bukan tentang sang pria dan sang gadis. Ini tentang Rendra dan Syifa.
***
            “Katanya, ada yang ingin kamu bicarakan Fa, apa itu?”
            “Menurutmu apa Ndra?”
            “Menurutku? Apa kamu pikir aku tahu jawabannya?”
            “Aku pikir begitu..”
            “Aku tidak tahu Fa….”
            ‘Selama ini kau tidak tahu? Atau pura-pura tidak tahu?”
            Sedikit terkejut, Rendra menoleh ke arah Syifa yang kini mulai berani menatapnya. Entah bagaimana, tapi kejanggalan itu mulai muncul. Gadis pendiam yang selama ini ia kenal tiba-tiba saja menatap dengan penuh antusias. Ia seperti memiliki berjuta peluru yang hendak ia tembakkan satu per satu. Dan peluru pertama telah ia tembakkan.
            “Aku..aku.. tidak tahu. Apa yang sedang kamu bicarakan Fa?”
            “Apa yang sedang aku bicarakan? Ah.. kamu benar, apa yang sedang aku bicarkan? Aku tidak tahu,,”
            “Fa, ada apa sebenarnya?”
            “Ada apa? Aku tidak tahu..”
            “Jangan pura-pura tidak tahu Fa..”
            “Harusnya kalimat itu yang aku lontarkan padamu” gadis itu tersenyum sinis.
            “Aku tidak bisa mengerti kalau kamu tidak mau menjelaskan Fa, tolong jangan beri aku teka-teki yang sulit”
            “Setidaknya kamu ingat, pertama kali kita bertemu dan tiba-tiba saja temanku yang juga temanmu mengatakan sesuatu. Atau kamu tidak ingat? Atau sama sekali tidak mau ingat?”
            “Fa..”
            “Apa selama  ini kamu tahu, atau sama sekali tidak tahu? Kalau aku menghabiskan banyak waktu memikirkanmu, menghabiskan seluruh waktu untuk bermimpi tentangmu, tentang angan yang tak pernah bisa aku capai. Apa kamu tidak tahu? Atau tidak mau tahu? Atau bahkan tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali?”
            “Dulu kamu sudah menjadi milik seseorang Fa, kenapa harus aku paksakan perasaan yang dulu??”
            “Tapi aku telah mengakhirinya. Aku sadari semuanya. Tapi mengapa setelah kamu tahu, kamu basa-basi membahas tentang itu pun tidak, memberi tahu bagaimana perasaanmu pun tidak”
            “Kamu tidak pernah menanyakan hal itu Fa..”
            ‘Harus aku tanyakan?!!!!”
            Matanya mulai memerah. Rendra bisa melihat mata sang gadis yang berkaca-kaca penuh amarah. Gadis itu tidak tahu tentang hal yang diketahui oleh Rendra. Sama sekali tidak tahu. Rendra menghela nafas. Mencoba mengendalikan diri, berusaha menjelaskan yang terbaik.
            “Aku tidak ingin terlalu terburu-buru soal perasaan Fa.. kamu tahu, perasaan itu seperti cuaca, mudah sekali berubah. Hanya waktu yang bisa menjawab apakah perasaan itu semakin jelas terlihat atau malah semakin hambar.”
            “Waktu? Usiamu sekarang 28 kau masih berbicara tentang waktu? Hendak sampai kapan kamu menunggu hah?”
            “Apa yang sebenarnya kamu inginkan Fa? APA???????” Rendra setengah berteriak.
            Gadis itu terhenyak. Ia segera menghela nafas, mengusap wajah. Rendra bisa mendengarkan desahan istigfar yang diucapkannya. Emosi memang tidak bisa ditebak kapan akan tersulut dan kemudian berkobar-kobar. Jelasnya, perempuan sulit mengendalikan diri ketika emosinya tidak stabil. Perempuan bisa mengucapkan apa saja. Bahkan bisa melakukan hal tak terduga, jika tak pandai mengendalikan diri. Gadis itu menutup wajahnya. Istigfar-nya semakin jelas terdengar dibumbui helaan nafas yang kencang. Ia terisak.
            “Fa?”
            Memahami wanita itu orang bijak bilang seperti ketika menonton film asing yang tidak ada subtitle-nya. Tidak paham. Hanya bisa menebak dari ekspresi dan gerak-geriknya. Dan kaum pria terpaksa harus mencari cara untuk bisa mengerti, dan paham, tanpa menyinggung perasaannya. Rendra membiarkan sang gadis puas dengan tangisannya.
            “M..maaf…” gadis itu tersedu
            “Tak apa Fa, kamu bisa menangis sepuasnya, jika itu bisa membuatmu lega”
            “Aku mungkin bisa menyembunyikan perasaan ini bertahun-tahun, tapi aku tidak bisa menahannya terlalu lama. Dulu, ketika temanku bilang ada yang menyukaiku, aku merasa biasa saja. Tapi, setelah aku lihat semua kebaikanmu terhadapku, aku merasa ada sesuatu yang membuatku tertarik. Perhatianku kamu curi lewat kebaikan-kebaikanmu. Aku yang dulu benar-benar buta bermain dengan cinta yang benar-benar salah. Dengan sebuah hubungan yang seharusnya tidak pernah aku jalani. Aku tidak paham dari dulu, bahwa sebenarnya aku tidak perlu mengemis rasa suka dan rasa cinta dari seorang laki-laki manapun. Belum waktunya. Dan ketika aku ditunjukkan ke jalan yang bercahaya, bertemu dengan seorang guru di sebuah pesantren, aku mulai memperbaiki diri dan berhijrah. Dan ketika itu pula, aku memendam setiap kali aku terpikat pada seorang adam. Ya. Itu kamu.”
            Rendra mendengarkan dengan takjim setiap kata yang terucap dari sang gadis. Ia seperti tahu semuanya, seperti tak perlu dijelaskan lagi. Ia hanya bisa menatap kosong, meresapi, mengangguk setiap kali Syifa menoleh saat bercerita.
            “Saat kamu menolongku yang sedang dimaki-maki oleh seorang laki-laki, saat kamu membantuku saat aku dibentak oleh seorang laki-laki, saat kau menyelamatku saat menjelajah di hutan, kau membantuku, mengobatiku, menuntunku. Saat kau memberikan aku lilin saat aku ketakutan dalam gelap, saat kau membelaku ketika aku dibentak oleh seorang laki-laki. Aku mengenang itu semua justru setelah jauh-jauh hari setelah kejadian-kejadian itu. Aku baru menyadari itu, di saat kamu mungkin sudah lupa bahwa kamu pernah menyukaiku”
            “Fa…”
            “Aku benar-benar bodoh. Itu kan yang akan  kauucapkan? Aku memang bodoh, karena menyukai orang yang sama sekali tidak menyukaiku. Aku benar-benar menghabiskan waktuku untuk seseorang yang sama sekali tidak pernah memikirkanku.”
            “Tolong jangan terlalu cepat mengambil kesimpulan”
            Syifa menoleh ke arah Rendra. Matanya yang sembap bertemu dengan pandangan yang penuh pengharapan. Pandangan yang tidak pernah berubah dari dulu. Cara pandang yang berbeda, yang mengandung penuh isyarat. Syifa kembali menundukkan kepalanya. Tiba-tiba saja Rendra menyimpan sebuah kotak kecil. Tanpa meminta ijin, Syifa membuka kotak itu perlahan. Hanya sebuah kertas putih yang usang, seperti sudah disimpan bertahun-tahun. Syifa menatap kertas putih itu, kemudian mendapati sebuah amplop berisi surat yang membuat ia termangu.
Dari dulu aku ingin sekali belajar melukis
Setidaknya biar bisa melukis setangkai bunga yang indah
tapi kau tahu sendiri kapasitasku bukan di dunia melukis
Dari dulu aku ingin menjadi pujangga
setidaknya biar bisa merangkai kata sekedar untuk menyapa
tapi kau tahu kau lebih pandai merangkai kata melebihi seorang pujangga
aku tidak bisa melukis pun tidak bisa puitis
Makannya aku memberikan sebuah kertas kosong
Kau tahu kenapa?
Karena kamu terlalu indah untuk bisa kulukis dan kupuji..
Dan kertas ini kalau kau dapati menguning
itu karena kertas itu yang ingin kuberikan semenjak kita masih berseragam putih-abu
Sampai usiaku menuju senja, aku bahkan tidak berhasil mengumpulkan keberanian
hanya sekedar untuk bilang apa kabar, sedang dekat sama siapa, pacarnya siapa
aku terlalu takut
Mungkin ini adalah hal yang paling kusesali hingga detik ini
Maafkan aku
Aku berbohong bilang perasaan itu seperti cuaca, mudah berubah
Tapi perasaanku padamu seperti matahari yang selalu ingin kembali pada pagi
Tulisan di surat itu mulai penuh dengan bercak airmata. Entah apa yang harus Syifa katakan. Pedih. Pedih andai bisa dikatakan. Keheningan saat itu hanya dipenuhi dengan isak tangis. Sementara Rendra hanya meremas jemari. Menyeka keringat dingin. Entah apa yang harus ia lakukan ketika gadis pujaannya terisak di sampingnya. Rendra. Seorang pria yang selalu ingin menjaga kehormatan perasaan. Dengan tidak memberikan harapan kepada gadisnya, tidak ingin terburu-buru menyatakan perasaannya, tidak ingin bermain dengan perasaan cinta semu sebelum ia sukses dan mampu membeli mahar. Semuanya sudah ia sampaikan. Semuanya. Hanya dengan kata-kata indah amatiran itu, ia yakin gadisnya akan paham seluruh cerita dalam kurun waktu 12 tahun ini.
“Kenapa Ndra… kenapa…??????????????????????” Syifa semakin terisak
“M..maafkan aku.. Syifa…”
“Kenapaaaaaaaa……………..”
“Setidaknya semuanya sudah jelas sekarang.. Aku minta maaf, ijinkan aku menyatakannya sekarang. Tidak. Aku akan menyatakannya nanti, sembari membawa keluargaku ke rumahmu, Syifa…”
Syifa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia terisak terus-menerus. Ia tidak bisa mengendalikan nafas. Pedih, tapi tak bisa ia ungkapkan. Ia meremas sebuah kertas tebal yang dilapisi plastik transparan. Meremas-remasnya dengan penuh kebencian, penuh penyesalan. Ia meremas kertas itu. Sebuah surat. Undangan pernikahan.
Tangisan ini, anggap saja nyanyian sendu.
***